Air terjun Parangloe terletak di Parangloe Kabupate Gowa, Sulawesi Selatan, sekitar 30 km dari Kota Makassar arah ke Malino. Banyak yang belum mengetahui tempat ini karena memang belum begitu disentuh oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai tempat wisata.
Masyarakat Parangloe sendiri, seringkali menyebutnya sebagai Air terjun Bantimurung II, atau air terjun bertingkat dan air terjun bersusun. Disebut demikian karena memang karakteristiknya yang bertingkat dan bersusun.
Bila dilihat dari nama-nama tersebut seolah ada benarnya, karena Air terjun Parangloe konon katanya bermuara dari Air terjun Bantimurung yang ada di Maros.
***
Boleh dibilang, air terjun Parangloe ini memiliki potensi wisata. Tak sedikit yang membicarakannya di media sosial, atau setidaknya di kalangan pecinta alam. Saya sendiri pertama kali mendengarnya dari seorang teman kampus medio tahun 2010 yang kebetulan berasal dari Parangloe.
Sekitar akhir tahun 2012, saya pun mencoba untuk mengunjunginya dengan bekal keberanian dan sedikit informasi kala itu. Sayang, saya gagal menemukannya. Walau begitu, saya tak langsung menyerah dan menanamkan niat untuk bisa mengunjunginya suatu hari nanti.
Beberapa bulan berselang, tepatnya 17 Agustus 2013 yang bertepatan dengan Hari Kemerdekaan, saya dan ketiga orang teman pun melanjutkan petualangan menuju air terjun Parangloe ini. Tak mau kecele lagi, kali ini saya sudah mengumpulkan informasi cukup lengkap hingga saya yakin akan menemukannya.
Perjalanan menuju Air terjun Parangloe
Untuk menuju Air terjun Parangloe terbilang gampang-gampang susah. Akses angkutan umum menuju kesana sedikt sulit dan butuh waktu lama. Naik motor adalah pilihan yang tepat karena dapat mengambil jalur lebih singkat yakni melewati Samata kemudian keluar di Jalan Poros Sungguminasa — Malino. Sekitar pukul 9 pagi, kami berkumpul di depan kampus UIN Samata untuk kemudian konvoi bersama menuju lokasi.
Tak lama berselang kami sudah tiba di depan kantor kehutanan. Menurut informasi yang saya dapat sebelumnya, di samping kantor kehutanan tersebut ada jalan masuk. Dari situ kemudian kami belok kanan hingga menemukan jalan setapak berbatu sekitar 200 meter dari jalan poros Malino.
Untuk menuju air terjun ada dua pilihan dimana kita bisa memarkir kendaraan kemudian trekking atau tetap melanjutkan naik motor hingga ke lokasi. Kami pun memutuskan mengambil pilihan kedua, memaksakan naik motor ke lokasi dengan pertimbangan menghemat energi sekaligus bisa merasakan jalur off-road.
Jarak dari Kantor Kehutanan hingga lokasi air terjun sekitar 2 km. Sepanjang jalan kami melewati jalur berbatu dan sedikit tanjakan. Inilah salah satu hal yang seru ketika saya mencoba menghindari batu cadas namun malah mengenai batu itu juga. Di tengah perjalanan juga terdapat pohon tumbang yang menghalangi bahu jalan tapi itu bukan penghalang bagi saya dan teman-teman untuk berhenti.
Tak terasa kami menemukan sebuah plang himbauan dari SAR tentang waspada air bah. Ini merupakan salah satu petunjuk yang saya dapatkan bahwa jika sudah berada disini cobalah diam sejenak dan dengarkan suara air karena dari sini bisa terdengar suara gemuruh air. Mendekati sumber suara air namun sedikit mendapatkan halangan karena jalur yang curam dan jika dipaksakan akan berbahaya.
Salah seorang teman saya kemudian menyarankan untuk mengambil jalan memutar, yakni lewat jembatan kemudian menyusuri air terjun dari atas. Ia sebelumnya sudah pernah kesini tapi melewati jalur yang berbeda dan ternyata lupa dengan jalurnya. Kami pun hanya menurut.
Melewati jembatan gantung , dimana ini berada di hulu air terjun kemudian memarkir motor di salah satu kebun warga dan menyusuri air terjun dari atas. Pemandangan air terjun dari atas sedikit berbeda dan membuat nyali saya sedikit ragu untuk memilih jalur ini dengan melompati batu tebing hingga sampai bawah.
Saya masih mengutamakan prinsip aman dan selamat, dengan ucapan bismillah saya melompati batu kemudian berpegangan di rumput, memeluk batu sambil memegang tas kamera. Ini memang jalur yang jarang dilewati atau bahkan mungkin kami ini yang pertama.
Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang akhirnya kami tiba di bagian bawah air terjun dan istirahat di tepi bawah pohon sambil menunggu matahari turun karena memang pada saat kami tiba sudah pukul 12 alhasil kami hanya bercanda sambil menikmati cemilan yang kami bawa.
Saya masih belum percaya akan keindahan Air terjun Parangloe dengan susunan batu-batunya yang bertingkat. Warnanya yang menghitam dan suara air yang jatuh seolah iringan musik dari alam. Salah satu keindahan yang masih alami dan patut berbangga yang bisa berkunjung. Saya menghela napas dan mengingat kembali perjalanan saya hingga sampai disini bahkan masih teringat dipikiran saat flashback ketika saya gagal menemukan tempat yang indah ini. Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk perjalanan saya kali ini.
Tujuan utama saya adalah bagaimana mereflesikan perjuangan pahlawan dengan apa yang saya mampu saat ini. Saya ingin mengangkat Indonesia ‘Syal Trip’ dan mengenalkan potensi keindahan Indonesia.
***
Matahari mulai turun dan panas matahari mulai bersahabat tanpa pikir panjang kami melompat ke air dan bercanda ria. Saya seperti orang yang kegirangan tapi itulah salah satu bentuk ekspresi dan mencoba meresapi arti sebuah perjuangan. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan lebih detil arti keindahan yang saya liat.
Beberapa momen sempat terekam dari kamera saya dan Albie salah seorang travelmate saya.
Puas bermain air lanjut mengabadikan lansekap air terjun dan sesekali menjadi objek. Saya memang sudah menyiapkan tripod dan remote untuk mengabadikan setiap momen perjalanan. Tentu sesekali saya juga ikut dalam momen itu. Seorang fotografer tidak selalu harus melawan hasratnya untuk tidak ikut dalam sebuah foto tapi bagi saya mencoba untuk menggabungkan keduanya dan hasilnya seperti ini. Jangan iri yah.
Sekali lagi saya merasa bangga dan senang bisa berkunjung dan saya berharap ini bukan kunjungan terakhir dan saya akan mengantar kalian menuju ke air terjun terindah yang pernah saya liat, Air terjun Parangloe.
***
Cara ke air terjun Parangloe
Kalau pengalaman saya dulu saat pertama kali (2013) mengunjungi air terjun ini terbilang cukup sulit, bahkan saya sempat tidak ketemu (2012). Dari sana saya kemudian coba membuat sketsa jalur agar pembaca IndonesianHolic dan teman-teman yang akan ke sini bisa lebih mudah.
Saat ini sudah terbilang mudah. Kamu bisa cek langsung di Google Map lokasi air terjun.
Transportasi:
- Saran saya lebih baik menggunakan motor agar lebih efisien di waktu. Selain itu, motor bisa masuk ke dalam hingga lokasi air terjun.
- Untuk jalur angkutan umum, bisa naik pete’ pete’ warna merah yang mengarah ke Gowa, turun di jalan menuju Malino. Kemudian lanjut lagi naik pete’ pete’ menuju Parangloe. Bertanyalah ke pak sopir.
- Setelah tiba di Kantor Kehutanan (Manggala Agni Daops Gowa), belok kiri, kemudian susurlah jalan berbatu sepanjang 2 km dan ikuti petunjuk sketsa jalur hingga plang himbauan SAR.
- Selanjutnya berjalan ke arah sungai sekitar 200 m dengan jalan setapak. Trekking jalan kaki sekitar 30 menit berjalan normal.
Tips:
- Safety first. Selalu utamakan keselamatan.
- Datanglah disaat pagi hari 07.00 – 10.00 atau sore hari 15.00 – 17.00 karena matahari sudah bersahabat dan cuaca tidak panas.
- Bawalah persedian minuman dan makanan ringan.
- Waspada air bah, hati-hati dalam kondisi musim hujan karena seringkali terjadi pengunjung terseret air bah yang berujung kematian.
- Jika kondisi air keruh dan air semakin tinggi maka cepatlah naik agar tidak terseret bah.